Setelah kejadian kemarin, aku dua hari tidak ketemu mbak Lasmi karena aku sibuk kuliah, tetapi konsentrasiku kacau, pikiranku selalu ke mbak Lasmi. Kelihatannya rumahnya kosong, dengar-dengar mbak Lasmi ada acara ke Jogja ketemu saudara mas Slamet yang kebetulan bekerja di kejaksaan untuk memperlancar kebebasan mas Slamet.
Ketika nongkrong di kampus lihat cewek, aku jadi lebih memperhatikan cewek yang lebih gemuk, seolah-olah melihat mbak Lasmi yang telanjang. Aku jadi tidak kerasan di kampus. Akhirnya aku pulang, berharap ketemu mbak Lasmi. Tapi sampai rumah, aku terus tidur karena kulihat rumah mbak Lasmi masih sepi. Jam 4 sore aku bangun dan kelihatannya ada orang berbincang-bincang di kamar tamu. Karena kamarku letaknya di depan dan harus melewati ruang tamu, aku keluar dan sempat aku kaget karena disitu ada mbak Lasmi sama ibu sedang ngobrol. Aku agak canggung ketika lewat di situ, tapi mbak Lasmi menyadari itu sehingga berusaha mencairkan suasana.
“Baru bangun, Riz, kelihatan kok kusut banget?” kata mbak Lasmi.
“Iya, mbak. Habis kuliah langsung tidur.“ jawabku.
“Si Fariz kerjanya tidur sama main, dan dua hari ini kurang semangat.” kata ibuku. “Sana mandi, trus antar mbak Lasmi daripada kamu bengong aja di rumah.“ sambung ibu.
“Iya, bu… “ jawabku kaya ada semangat baru.
“Tapi kamu ada tugas kuliah tidak, Riz?” kata mbak Lasmi.
“Tidak, mbak. Aku siap nanti, yang penting ada bonusnya kaya kemarin.” kataku keceplosan.
Mbak Lasmi kelihatan kaget dengan jawabanku.
“Kamu kasih apa, mbak? Jangan dikasih yang kira-kira memberatkanmu lho, mbak, kamu kan lagi banyak kebutuhan.” kata ibu.
“Paling makan aja kok,” jawab mbak Lasmi agak tenang.
Akhirnya aku tinggalkan mereka berdua yang masih asyik ngobrol untuk mandi. Pada waktu mandi, terbayang mbak Lasmi yang telanjang memandikan dan mengelus tubuhku, membuatku horny dan aku tuntaskan di kamar mandi dengan tanganku, sambil aku bicara sendiri pada kontolku. “Nanti malam kamu dapat belaian tangan dan mulut yang lebih halus, dijepit tetek, kejepit memek mbak Lasmi.”
Selesai mandi, aku lihat kamar tamu sudah sepi, mungkin mbak Lasmi sudah pulang. Aku masuk kamar dan berganti baju. Setelah itu keluar dan ambil motor, kelihatan mbak Lasmi berjalan ke rumah, disitu ada ibuku.
“Semoga lancar urusannya ya, mbak.“ kata ibu pada mbak Lasmi.
“Doakan saja, mbakyu.” jawab mbak Lasmi.
“Hati-hati ya, Riz, jangan ngebut. Kalau sudah selesai langsung pulang, tidak usah minta jajan ke mbak Lasmi.” pesen ibu kepadaku.
“Siap laksanakan perintah, Komandan.” jawabku bercanda.
Akhirnya kami berangkat. Mbak Lasmi membonceng aku dengan sopan, masih ada jarak di antara kita. Setelah sampai jalan besar, aku ngomong: “Pegangan, mbak, aku mau cepet nih.”
“Malu, Riz, nanti dikira aku tante girang… bawa brondong.” canda mbak Lasmi, tapi tetap melingkarkan tangannya di pinggangku sehingga teteknya yang besar menempel mantap di punggungku.
“Kalau ngak pegangan malah nanti dikira aku tukang ojek, mbak.” jawabku.
“Mosok cowok ganteng dikira ojek, kalau gigolo mungkin, haha..” kata mbak Lasmi.
“Kalau gigolo sama tante girang kan pasangan,” jawabku.
“Tadi dipesen ibu nggak boleh kenceng-kenceng gitu… kita nyantai aja, toh jam besuk masih lama. Kamu kan bukan pengin kenceng, tapi pengin tetekku yang kenceng nempel kan? Hahaha…“ canda mbak Lasmi.
“Tapi kok nular ke bawah ya? Kontolku jadi ikut kenceng.” candaku.
“Masak… kok bisa ya?” kata mbak Lasmi sambil memegang kontolku dari luar celana.
Dalam perjalanan, kami selalu bercanda. Mungkin orang menganggap kami adalah sepasang kekasih yang berpacaran. Tak terasa kami sudah sampai di pintu masuk Polresta. Setelah lapor sana-sini, akhirnya kita dipertemukan di ruangan paling pojok tanpa pengamanan karena bukan merupakan tindak kriminal sehingga lebih bebas. Ketika aku ketemu mas Slamet, ada perasaan bersalah di hatiku. Mbak Lasmi langsung memeluk mas Slamet sambil sama-sama meneteskan air mata. Aku tak kuasa melihatnya, akhirnya aku tinggalkan mereka berdua ke luar ruangan. Aku ngasih kesempatan mereka untuk berbicara.
Setelah beberapa saat, aku kembali ke ruangan. Tapi aku terhenti karena dari kejauhan yang kebetulan agak gelap, kulihat mereka tidak lagi berbicara, tapi saling berciuman kaya mau bercinta. Aku urungkan niatku untuk masuk, memberi kesempatan bagi mereka sambil aku menjaga setuasi kalau ada penjaga yang akan masuk. Aku nikmati permainan live show dengan lebih mendekat sehingga suara mereka terdengar tanpa perlu ngintip, karena kebetulan ada lubang yang kemungkinan bekas loket yang ditutup tidak sempurna, masih ada celah yang cukup lebar. Jarak aku dan mereka hanya beberapa meter saja sehingga suara mereka terdengar cukup jelas.
Kelihatan mereka mulai horny, mas Slamet tangannya mulai masuk di blus mbak Lasmi. “Ma, aku pingin ngentot.“ minta mas Slamet penuh nafsu.
“Tapi, Pa… apa mungkin? Nanti ketahuan, malah repot.” jawab mbak Lasmi menahan nafsu juga.
“Tidak masalah, kita kan dikasih waktu seperempat jam, ayo… Ma!” bujuk mas Slamet sambil menciumi mbak Lasmi.
“Tapi cepet aja ya, Pa… aku kurang tenang.” kata mbak Lasmi.
“Iya, yang penting ini masuk aja.” kata mas Slamet sambil menurunkan celana dan menunjuk kontolnya yang sudah tegang.
“Kalau polisi atau Fariz tahu, gimana, Pa? Nanti papa dihajar.” kata mbak Lasmi kurang tenang.
“Ya… kalau mereka tahu, paling mereka ikut ngentot mama. Hahaha…” kata mas Slamet bercanda mesum.
“Memangnya papa ikhlas kalau mama dientot orang lain?” kata mbak Lasmi mulai terbawa suasana.
“Ya gimana mama aja, yang penting saat ini pejuhku bisa muncrat.“ kata mas Slamet.
Mereka mulai bercinta meskipun kelihatan mbak Lasmi kurang tenang. Mulut mereka masih saling lumat. Mas Slamet kelihatan kurang sabar, tangannya langsung masuk di blus mbak Lasmi dan menaikkan blus tersebut sehingga tetek mbak Lasmi yang masih tertutup bra, yang bikin aku pusing kemarin, terlihat.
“Sebentar, Pa.“ kata mbak Lasmi sambil melepas branya, meloncatlah tetek yang super mantap itu. Entah gimana caranya, tahu-tahu bra sudah di tangan mbak lasmi dan dimasukkan ke tasnya.
Mas Slamet dengan rakus memainkan tetek itu dengan tangan dan mulut serta lidahnya. “Kangen ya, Pa, sama tetekku?“ kata mbak Lasmi. Mas Slamet hanya mengangguk, tetap menikmati tetek istrinya seperti anak kecil dapat mainan baru.
“Sudah, Pa. Pingin yang lain tidak?” kata mbak Lasmi sambil berdiri dan menurunkan celana dalamnya sampai di bawah dengkul. Terpampanglah memek yang tembem dan rimbun seperti gunung Lawu.
“Ma, kok rimbun banget ya? Papa pingin besok di rumah, mama gunduli itu jembut… untuk syukuran kebebasanku, papa akan gunduli juga kontolku.” kata mas Slamet sambil mengamati memek mbak Lasmi dan terus menjilatnya.
Mbak Lasmi kelihatan sudah enjoy menikmati kelakuan sang suami, mulai terdengar erangannya yang tertahan. ”Eghmm… Pah!”
Aku yang menyaksikan tidak kuat, aku benar-benar horny. Tapi mau bagaimana? Aku berpikir pingin masuk dan langsung ikut ngentot, tapi aku tidak berani.
Mbak Lasmi sekarang duduk di kursi dengan posisi tetek dan memek terpampang bebas. Mas Slamet sudah tidak tahan mau ngentot wanita itu. “Sebentar, Pa.“ kata mbak Lasmi sambil melumat kontol mas Slamet, membasahinya agar nanti lancar saat dimasukkan ke dalam memek.
“Ma, aku sudah tak tahan, mau keluar di memek mama!“ jerit mas Slamet tertahan.
Karena posisi kurang nyaman, akhirnya mbak Lasmi telentang di lantai. Aku berpikir, kalau sudah nafsu, dimanapun jadi. Kaki mbak Lasmi dikangkangkan sehingga memeknya yang tembem menjedol minta ditusuk. Mas Slamet memegang kaki mbak Lasmi karena kurang leluasa, akhirnya celananya ia lepas. Aku khawatir juga kalau ada penjaga yang datang, mereka tidak bisa cepat memakai, tapi aku tetap menikmati tontonan ini. Mas Slamet menciumi muka mbak Lasmi yang masih tertutup jilbab, tangannya menopang tubuhnya dan salah satunya memainkan tetek mbak Lasmi secara bergantian.
“Mas, ayo entot aku. Memekku pengin ditusuk,“ pinta mbak Lasmi parau.
Tanpa disuruh dua kali, mas Slamet langsung mengarahkan kontolnya ke memek mbak Lasmi. Dengan sekali hentakan, kontol itu tertelan masuk ke dalam. Ternyata mudah ya ngentot itu, pikirku. Mereka saling menggoyang maju mundur dengan cepat dan penuh nafsu, tanpa henti, kira-kira beberapa menit. Lalu kemudian…
“Ma, aku mau keluar.” kata mas Slamet ngos-ngosan.
“Iya, Pa, aku juga. Memekku siap menerima semprotanmu.” sahut mbak Lasmi.
Mereka kembali berpacu sambil terengah-engah. Akhirnya, dengan sedikit teriakan yang tertahan, mereka mengejang dan kelihatan mas Slamet menekan kontolnya semakin dalam, seolah-olah tidak pengin lepas. Demikian juga mbak Lasmi, mereka kelihatannya sudah orgasme berbarengan, terlihat mereka langsung terkapar lemas. Menyadari waktu yang tidak banyak tersisa, mereka mulai bangun dan berpakaian.
“Terima kasih, Ma… sekarang papa puas.” kata mas Slamet sambil meremas-remas tetek mbak Lasmi yang menggelantung indah.
“Sama-sama, Pa. Memek mama juga sudah tidak gatel karena sudah ditusuk.” canda mbak Lasmi.
Setelah itu mbak Lasmi melepas CD-nya untuk digunakan mengelap memeknya dan kontol mas Slamet karena memang cairan kenikmatan mereka keluar sangat banyak. Mbak Lasmi merapikan kembali baju panjangnya, sementara mas Slamet menaikkan kembali celananya. CD mbak Lasmi yang kotor oleh cairan, dimasukkan ke dalam tas bercampur dengan bra.
“Tidak dipakai, Ma?” tanya mas Slamet.
“Nanti lengket kotor, Pa. Kan juga nggak kelihatan, baju mama panjang dan lebar.” kata mbak Lasmi.
“Iya, benar sih. Tapi nanti kan mama bonceng Fariz, nanti dia tahu kamu tidak pakai bra, apa tidak malu?” kata mas Slamet.
“Nggak masalah, Pa. Ya kalau Fariz merasa, anggap aja sedekah karena dia sudah nolongin kita selama ini, hahaha…” canda mbak Lasmi.
Aku menahan nafsu mendengarnya, tapi apa daya, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Supaya tidak ketahuan, aku segera menjauh dari situ sambil pura-pura melihat poster di dinding. Saat mbak Lasmi keluar mencariku, aku segera mendekat sambil menyapanya, ”Ada apa, mbak?”
“Yuk, kita pulang dulu.” kata mbak Lasmi.
Aku mengikuti masuk ke ruang tersebut, terbayang mbak Lasmi tanpa bra dan celana dalam, kelihatan semakin cantik. Kelihatan mas Slamet sudah rapi meskipun kelihatan mereka agak kelelahan. Dan setelah itu kita pamit. “Mas, aku pulang dulu ya?” kataku.
“Makasih ya, Riz, kamu telah membantu mbakmu. Aku tidak bisa membalasnya,” kata mas Slamet.
“Sama-sama, mas, kan aku saudara sendiri.“ kataku berusaha sok tulus.
“Tapi jangan sampai ganggu kuliahmu lho. Kalau perlu atau pingin apa-apa, minta aja sama mbakmu.” kata mas Slamet.
“Iya, mas.“ jawabku singkat untuk memberi kesempatan mereka bicara.
“Pa, aku pulang dulu ya? Yang sabar disini,” kata mbak Lasmi.
“Iya, Ma. Kamu juga hati-hati di rumah, kalau perlu bantuan, ngomong sama Fariz saja. Tapi kalau dia perlu atau pingin apa, kamu usahakan.” pesen mas Slamet.
Akhirnya kita keluar dari Polresta, kita diam pada pikiran masing-masing. Mbak Lasmi bonceng tetap melingkarkan tangannya di pinggangku sehingga otomatis teteknya yang tidak pakai bra menempel ketat di punggungku. Terasa sangat empuk, beda dari waktu berangkat tadi. Mbak Lasmi tidak menyadari atau sengaja, aku tidak tahu. Di perjalanan, aku lebih berkonsentrasi pada rasa di punggungku yang hangat-hangat kenyal daripada jalanan di depan yang sepi dan lengang.
Akhirnya mbak Lasmi ngomong, “Riz, kita makan dulu yuk?”
“Nggak usah, mbak. Aku kalau sama mbak kenyang terus, haha…” candaku.
“Kok bisa, Riz?” tanya mbak Lasmi heran.
“Maaf, mbak. Kan aku minum susu terus meskipun cuma punggungku.” jawabku semakin kurang ajar.
Mbak Lasmi tertawa. ”Kamu bisa aja,”
“Mbak, kok rasanya beda ya dari waktu berangkat tadi, lebih empuk?” tanyaku.
“Haha… kamu ngerasa to, Ris?” jawab mbak Lasmi agak malu-malu.
“Ya pasti to, mbak. Aku kan punya kulit yang bisa merasakan. Kok empuk, mbak, apa mbak kedinginan?” tanyaku sok bloon.
“Maaf, Riz, sebenarnya aku malu ngomong ini. Mbak sekarang tidak pakai bra, tadi mas Slamet minta netek. Daripada repot, ya mbak lepas aja, sekarang belum sempat makai. Apa berhenti dulu di pom bensin? mbak pakai dulu kalau kamu tidak nyaman,” cerocos mbak Lasmi.
“Jangan, mbak, begini malah lebih nikmat.” kataku semakin berani.
“Haha… kamu bisa aja, Riz. Atau jangan-jangan, kamu pingin netek juga ya?” tanya mbak Lasmi memancing.
“Nggak kok, mbak, nggak pingin. Tapi… puingin buanget!” jawabku penuh harap.
“Hush, jangan ngawur. Kamu kenyang apa kentang?“ kata mbak Lasmi sambil mengelus kontolku.
Aku semakin berani, “Aku pingin ini.“ kataku sambil tanganku memegang memeknya dari luar gamis karena terbawa nafsu.
Tapi ini jadi fatal, karena mbak Lasmi langsung memukul sambil berkata agak keras. “Kurang ajar kamu, Riz, kamu anggap aku ini apa?!”
“M-maaf, mbak… maaf. Saya tidak bermaksud begitu.” kataku penuh melas.
“Iya.” jawab mbak Lasmi ketus.
Aku merasa bersalah. Selama perjalanan, kita diam. Akhirnya sampai depan rumahnya, aku turunkan mbak Lasmi.
“Maafkan kelancanganku tadi, mbak. Aku tidak akan mengulanginya lagi.” kataku pelan.
“Iya.” jawab mbak Lasmi tanpa melihatku, kelihatan begitu kecewa.
Aku berpikir, haruskah berakhir seperti ini? Tidak, harus dilanjutkan…
***
HADIAH YANG SEBENARNYA
Kumasukan motor ke rumah. Di kamar, aku mencoba untuk tidur, tapi tidak bisa. Nonton siaran TV, tidak nyaman juga. Aku terus membayangkan mbak Lasmi yang sedang marah. Aku kecewa merasakan kelancangan dan kegagalanku saat ini. Akhirnya aku berpikir harus menyelesaikan malam ini juga. Ada dorongan sangat kuat untuk mendatangi rumah mbak Lasmi. Berani nggak, berani nggak? Mengapa nggak berani, aku kan seorang lelaki. Entah apa yang mendorongku, tahu-tahu aku sudah keluar rumah lewat tempat biasa: jendela.
Aku mendatangi rumah mbak Lasmi. Dengan berdebar-debar, aku ketok pelan-pelan kaca nakonya, “Mbak Lasmi, aku Fariz.” kataku lirih.
Terdengar gemerisik suara orang berjalan, lalu sepi. Mungkin mbak Lasmi masih belum tidur dan takut. Bisa juga mengira aku maling. “Aku Fariz, mbak.” kataku lagi.
Kain korden terbuka sedikit. Nako terbuka sedikit. “Lewat samping!” kata mbak Lasmi.
Aku segera menuju ke samping, ke pintu ruang keluarga. Pintu terbuka, aku masuk, pintu lalu kututup kembali. Malam itu, mbak Lasmi mengenakan daster di atas dengkul warna merah yang kontras dengan kulitnya yang putih dan bersih dengan seutas tali yang dikaitkan di leher sehingga teteknya yang montok kelihatan menantang, mungkin ini baju tidur kesukaannya. Jilbabnya sudah ia lepas, rambutnya yang lurus sebahu tergerai indah membingkai wajah cantiknya. Ada bau harum sabun mandi, kelihatannya mbak Lasmi baru mandi, maklum tadi sore habis dipakai mas Slamet. Aku langsung terangsang, pingin memperkosanya, tapi aku sadar aku kesini untuk minta maaf, bukan buat masalah lagi. Aku duduk di ruang santai tempat pertunjukan kemarin, aku tidak berani melihat, hanya berani melirik mbak Lasmi, kita berdua diam tanpa kata. Akhirnya kuberanikan bicara.
“Mbak, maafkan aku atas kekurangajaranku tadi.” kataku penuh harap.
“Iya, Riz. Mbak juga salah telah membuat kamu kecewa, kamu kan yang paling perhatian kepadaku.” kata mbak Lasmi.
”Iya, mbak.” aku mengangguk, sedikit lega dengan jawabannya.
“Aku salut sama kamu, memang lelaki harus berani bertanggung jawab.” sambung mbak Lasmi.
Aku tambah lega, tidak ada jarak lagi diantara kita.
“Riz, kamu kesini mau apa?” tanya mbak Lasmi.
“Hanya pingin minta maaf, mbak.” jawabku mantap.
“Iya, sudah mbak maafkan dari tadi, Riz… kamu pingin minta apa, tadi mas Slamet kan sudah pesan kalau perlu apa-apa ngomong langsung aja sama mbak.” tanya mbak Lasmi dengan suara parau, terlihat ada sesuatu yang ditahan.
“Iya, mbak, makasih banget. Aku kesini tidak pingin apa-apa, aku sudah lega kalau mbak maafin aku. Kalau begitu aku pulang dulu, mbak.“ kataku sambil berdiri.
Mbak Lasmi ikut berdiri, kami lalu bersalaman. Aku berjalan ke pintu, mau membukanya, saat tiba-tiba… “Riz, sebentar…” panggil mbak Lasmi dengan suara tertahan.
Aku langsung membalik tubuhku, menghadap ke arahnya yang berdiri agak ragu. “Iya, mbak?” jawabku penuh tanda tanya.
“Aku percaya ada yang kamu inginkan, tapi tidak berani berucap.” kata mbak Lasmi, aku hanya diam kaya patung.
“Kamu mau ini, Riz… hadiah untukmu.” lanjut mbak Lasmi. Aku tetap diam tak berkedip saat melihat tangan mbak Lasmi melingkar ke belakang leher sehingga teteknya yang montok makin kelihatan menantang. Dengan sedikit tarikan, ia melepas tali daster dan membiarkan kain berwarna merah itu meluncur ke bawah. Aku kaget dan terpana karena mbak Lasmi langsung bugil total, ternyata dari tadi dia tidak pakai daleman. Kuperhatikan tubuh indahnya dari atas sampai bawah, teteknya yang montok langsung terekspos dengan jelas, sangat menantang untuk dijamah. Dan astaga! memeknya yang tembem sekarang jadi gundul. Kemana gerangan jembut lebat yang kulihat tadi siang?
Aku masih terpana, tidak mampu bergerak. Yang bisa bereaksi cuma kontolku, benda itu mulai berontak dan menegang saat melihat pemandangan indah itu. Tapi aku tidak berani berbuat apapun. Mbak Lasmi berjalan mendekatiku, teteknya yang montok bergoyang-goyang saat ia melangkahkan kaki. Aku hanya mematung saat mbak Lasmi mengambil inisiatif dengan langsung menarik kaosku ke atas hingga terlepas. Ia kemudian jongkok dan menarik turun kolor dan CD-ku. Aku sedikit mengangkat kakiku, memudahkan mbak Lasmi melepasnya. Ia melempar celanaku entah kemana. Kontolku yang sudah ngaceng berat langsung meloncat dan berdiri tegak bagai tongkat. Berdua, di ruang tengah rumah mbak Lasmi, kami sama-sama bugil sekarang.
Aku dibimbingnya masuk ke kamar tidurnya. Aku nggak tahan lagi, segera kupeluk tubuh montok mbak Lasmi erat-erat. Kuciumi pipinya, hidungnya, bibirnya, dengan lembut dan mesra, tapi penuh nafsu. Mbak Lasmi membalas memelukku, wajahnya disusupkan ke dadaku.
“Maaf, mbak, aku pingin banget kaya kemarin.” bisikku sambil terus menciumi dan membelai punggungnya. Nafsu kami semakin menggelora.
“Riz, akan aku kasih yang lebih dari kemarin. Jamahlah tubuh mbak sesukamu, mana yang kamu mau, tubuh mbak semua untukmu!” kata mbak Lasmi.
“Iya, mbak. Tapi ajari aku ya, karena ini baru pertama.” kataku memohon.
“Kamu memang anak baik, Riz. Jangan terburu-buru, ikuti naluri saja.” terang mbak Lasmi. Aku ditariknya ke tempat tidur. Mbak Lasmi kemudian membaringkan dirinya. Aku langsung menubruknya.
“Riz, jangan terburu-buru. Nodai dulu bibirku.“ kata mbak Lasmi sambil menyorongkan mulutnya. Aku menyambutnya. Bibirnya terasa hangat dan lembut. Aku yang baru pertama berciuman, dengan kasar melakukannya, asal sedot dan lumat saja. Mbak Lasmi dengan santai mengajariku, aku mengikutinya. Hingga beberapa menit kemudian, kita bisa saling lumat dan hisap dengan lebih nikmat.
“Enak, Riz?” kata mbak Lasmi dengan sedikit senyum. Aku hanya bisa mengangguk. Dia kemudian mendorong tubuhku ke atas. “Ini yang menempel di punggungmu tadi, Riz. Nikmatilah, jangan bengong aja.” kata mbak Lasmi sambil menyorongkan teteknya yang besar dan bulat.
Aku tidak tahan lagi, segera kujamah buah dada yang kenyal dan empuk itu. Ukurannya benar-benar besar, sampai tanganku tidak muat menangkup semuanya. Aduh! terasa nikmat sekali. Kuelus bulatan daging itu dengan lembut, kuremas pelan-pelan. Putingnya terlihat memerah dan menggemaskan. Kuciumi, kukulum, kubenamkan wajahku di kedua bulatan mungil itu, sampai aku tidak bisa bernapas. Aku mainkan buah dada mbak Lasmi sesuai naluri dan teori dari film bokep yang sering kulihat. Mbak Lasmi terlihat menikmati sambil sedikit mengarahkan kalau aku berbuat salah.
“Riz, biar wanita bisa horny kalau teteknya dimainin kayak gini,” kata mbak Lasmi, “kamu mulai dari bagian bawah dulu, jangan langsung kamu sentuh bagian putingnya.” terangnya.
Aku hanya menurut seperti anak TK yang nurut sama ibu gurunya. Mulai kujilati bagian bawah tetek mbak Lasmi yang besar, melingkar dari kanan ke kiri. Kelihatan puting mbak Lasmi tambah menjulang saat aku melakukan itu, mungkin ia benar-benar horny, mbak Lasmi terlihat menikmatinya. Tanpa diduga, aku langsung menyedot dan melumat putingnya secara bergantian. Mbak Lasmi kaget tapi tidak menolak. Dia malah berkata, ”Pinter kamu, Riz. Ughh… enak banget!”
Aku masih memainkan tetek mbak Lasmi sesukaku. Istri mas Slamet itu membiarkan dan menikmatinya sambil mengelus kepalaku penuh kasih sayang, seperti perlakuan seorang ibu pada anak bayinya yang lagi netek. Aku tidak bosan-bosannya memainkan gundukan padat itu dengan mulutku, sementara tanganku mulai merogoh memeknya. Saat kurasakan benda itu jadi licin, tak tahan aku bertanya. “Kok gundul, mbak, nggak takut banjir?” tanyaku konyol.
”Spesial untukmu, Riz. Biar bersih, biar kamu tahu gimana bentuk memek yang sebenarnya, kamu kan baru belajar.” jawab mbak Lasmi sabar.
”Iya, mbak.” kubelai dan kuusap-usap belahan tembem itu. Kutusukkan jari telunjukku ke lubangnya yang sempit, terasa sangat hangat dan basah disana.
“Riz, mbak tidak kuat lagi. Jilati memekku, Riz!” pinta mbak Lasmi sambil mendorongku ke bawah.
“Kok basah, mbak?” kataku penuh nafsu. Kupandangi bibir vaginanya yang terlihat merah mengkilat karena terlumasi cairan.
“Nikmati, Riz, mainin itilku!” kata mbak Lasmi tanpa menjawab pertanyaanku. Dia membuka kakinya makin lebar, membuat belahan memeknya makin jelas terlihat. Lorongnya yang sempit berwarna merah cerah, hampir kekuningan. Terasa berkedut-kedut ringan saat aku merabanya.
Kuikuti perintah mbak Lasmi. Segera aku jongkok dan menghisap benda itu. Mbak Lasmi mengarahkan jilatanku yang masih kasar dan asal dengan membuka bagian atas memeknya. Karena memang memeknya gundul, maka segera terpampanglah daging kecil berwarna merah sebesar biji kacang miliknya. Aku pikir, ini pasti itil yang ia maksud. Langsung kujilat dan kumainkan benda itu. Mbak Lasmi hanya bisa mendesah sambil berkata, ”Iya, begitu, Riz! Jilat terus. Sedot. Lumat itilku dengan mulutmu, Riz!”
Aku mainin terus itil itu. Terasa ada cairan yang membasahi memek mbak Lasmi dengan aroma yang khas, benar-benar menambah sensasiku. Semakin kupercepat jilatanku, semakin Mbak Lasmi tidak tahan. Hingga akhirnya ia menarik tubuhku dan kembali menciumiku bertubi-tubi. Terasa teteknya yang bulat padat mengganjal tepat di dadaku.
“Riz, masukin kontolmu. Entot aku. Tusuk memekku, Riz!” kata mbak Lasmi seperti tante girang. Dia segera menggenggam dan mengocok-ngocok pelan batang penisku, dari ujung hingga ke pangkalnya. Aduh, rasanya geli dan nikmat sekali. Aku jadi nggak sabar lagi.
Kaki mbak Lasmi kukangkangkan lebar-lebar, aku coba langsung memasukan penisku ke memeknya seperti mas Slamet tadi, tapi meleset terus.
“Hehe… aku percaya kamu memang baru pertama, Riz.” kata mbak Lasmi. ”Mbak akan nikmati perjakamu,” sambil tersenyum, dia membimbing penisku untuk memasuki liang memeknya yang sudah basah. Digesek-gesekannya ujung penisku di bibir memeknya, makin lama semakin terasa basah, hingga ketika kudorong pelan, sudah bisa agak sedikit masuk, meski masih tetap sulit. Memek mbak Lasmi terasa sangat sempit. Dia dengan sabar terus membimbingku.
“Pelan-pelan aja, Riz. Kontolmu besar lebih dari milik mas Slamet.” bisik mbak Lasmi gembira.
“Memek mbak sempit banget, kontolku muat nggak, mbak?” tanyaku kaya orang bego.
Mbak Lasmi tidak menjawab. Dia hanya tersenyum sambil terus membimbing kontolku memasuki lubang memeknya. Aku sendiri terus menekan dengan pelan, hingga akhirnya kontolku masuk semakin dalam, semakin dalam… sudah setengah terbenam, kutekan terus… lagi, lagi, dan lagi, dan akhirnya… tinggal sedikit lagi, lalu… penuh nafsu, blees! kutekan kontolku keras-keras hingga semuanya terbenam ke dalam memek mbak Lasmi yang tembem.
“Auw, pelan-pelan, Riz… sakit!” teriak mbak Lasmi tertahan. Aku hanya diam, membiarkan penisku tetap menancap. Terasa nikmat kurasakan, kontolku seperti dijepit sesuatu yang tidak tergambarkan; hangat, basah, geli, lengket, dan berkedut-kedut. Melenguh keenakan, kunikmati lubang memek mbak Lasmi.
“Riz, memek mbak jadi penuh banget, kontolmu mantap!” teriak mbak Lasmi.
“Ehm, memek mbak juga enak banget! Masih sakit, mbak?” tanyaku sambil memainkan puting susunya.
“Sebentar, Riz, jangan bergerak dulu. Biar kelamin kita kenalan dulu, kontolmu terlalu besar, memekku jadi kaget.” kata mbak Lasmi.
”Iya, mbak.” aku mengangguk.
Kita tetap dalam posisi seperti itu selama kurang lebih lima menit, hingga kemudian mbak Lasmi berkata, ”Riz, aku siap digoyang.” bisiknya mesra.
Aku pun mulai menggerakkan pinggulku naik-turun dengan pelan seperti yang kulihat dilakukan oleh mas Slamet. Aku melakukannya dengan teratur. Aduh, nikmat sekali rasanya. Penisku rasanya dijepit erat oleh kemaluan mbak Lasmi yang sempit dan licin. Makin cepat kucoblos, makin erat memek itu mencekik kontolku. Aku terus menggerakkannya keluar-masuk, turun-naik, kadang memutar dan kutekan dalam-dalam dengan penuh nafsu, menggesek dinding kelamin mbak Lasmi hingga membuatku kami merintih keenakan.
“Aduh, Riz, Fariz… enak sekali! Yang cepat… terus, ya begitu!” bisik mbak Lasmi sambil mendesis-desis. Kupercepat lagi genjotanku. Suara memek mbak Lasmi makin kecepak-kecepok, menambah semangatku. “Riz, aku mau muncak… terus… terus!” rintihnya.
Aku juga sudah mau keluar, ada sesuatu yang mau meledak di ujung kontolku. Aku percepat goyanganku, dan penisku merasa akan segera muncrat. Kubenamkan dalam-dalam ke dalam vagina mbak Lasmi sampai amblas, mentok seluruhnya. Pangkal penisku berdenyut-denyut, spermaku muncrat, menyembur berkali-kali di dalam vagina sempit mbak Lasmi.
Bersamaan dengan itu, mbak Lasmi mengejang. Terasa basah di ujung kontolku. Rupanya dia juga orgasme. Kami berangkulan kuat-kuat, nafas kami seakan berhenti. Saking nikmatnya, dalam beberapa detik, nyawaku seperti melayang entah kemana. Aku ambruk di atas tubuh montok mbak Lasmi untuk beberapa saat menikmati sisa-sisa kenikmatan yang masih mendera.
Setelah rasa itu hilang, barulah kucabut penisku, dan berbaring di sisinya. Kami berdiam diri, mengatur napas kami masing-masing. Tiada kata-kata yang terucapkan, ciuman dan belaian kami yang berbicara.
“Terima kasih, mbak, hadiahnya. Tidak akan terlupakan,” bisikku di telinganya.
“Iya, Riz. Mbak juga puas. Mbak bisa keluar lepas, tidak seperti tadi sama mas Slamet.” kata mbak Lasmi keceplosan.
“Memangnya tadi sempat ngentot sama mas Slamet?” tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Eh, nggak, nggak, Riz!” kata mbak Lasmi gelagapan, mukanya merah padam, menambah kecantikannya.
“Mbak cantik deh kalau lagi bohong,” rayuku. ”Tapi mas Slamet ahli ya, mbak? Tanpa bantuan nyoblos, langsung bisa masuk.” lanjutku.
“Kamu kurang ajar ya, Riz! Berarti kamu tadi ngintip… kamu memang kurang ajar,” kata mbak Lasmi berlagak marah.
“Salah sendiri, ngentot di tempat gituan. Beralaskan lantai apa enaknya? Aku tidak ngintip, aku lihat kok.” candaku.
“Iya, Riz, aku ngaku. Habis tadi tidak tahan. Kasihan mas Slamet, mosok punya istri harus pakai tangan?” akhirnya mbak Lasmi mengakui perbuatannya. “Tapi kamu memang kurang ajar, Riz. Mosok suamiku di sel, istrinya kamu nodai!” katanya kemudian.
“Biarin, wong ini mbak juga gatel.” kataku sambil membelai memeknya.
“Kamu kebablasan, Riz.“ teriak mbak Lasmi sambil berdiri.
Aku kaget dengan responnya. Langsung aku diam, apa aku salah lagi? Mbak Lasmi bikin pusing saja. Aku masih terlentang diam, sementara dia mulai bergerak mengangkangi tubuhku. Bisa kulihat sisa-sisa spermaku masih menetes-netes di celah-celah belahan memeknya.
“Ini, kubalas kekurang-ajaranmu!” maki mbak Lasmi. Dia lalu memegang kontolku yang masih lesu, terus dijilat dan langsung ditelannya tanpa rasa jijik. Mendapat perlakuan seperti itu, kontolku langsung berdiri tegak menjulang.
“Mbak, jadi berdiri lagi, gimana ini?” rengekku pura-pura lugu.
“Dasar, kontol muda nggak ada matinya!” maki mbak Lasmi sambil menggenggamnya erat. Dia langsung naik ke atas tubuhku, memeknya berada tepat di depan kontolku. Tanpa permisi, mbak Lasmi menurunkan tubuhnya, batang kontolku langsung amblas ditelan mekinya.
“Mbak, ughh… sakit, mbak!” kataku.
“Biarin, rasakan pembalasan atas kekurang-ajaranmu!” kata mbak Lasmi sambil mulai bergoyang tak beraturan. Teteknya yang besar bergoyang ke kanan dan ke kiri kayak mau jatuh. Aku nikmati pertunjukan ini.
Mbak Lasmi seperti kesetanan. Aku rasakan meskipun badannya gemuk, kalau begini rasanya enteng. “Riz, jangan bego gitu, remas tetekku!” teriaknya gemas. Aku diam saja, mosok aku dikatakan bego?!
“Kalau kamu kurang, rasakan ini!” kata mbak Lasmi sambil menghentikan goyangannya. Terasa ada pijatan kuat yang menjepit batang kontolku, seolah-olah membetot dan menyedot spermaku. Dia melakukannya berulang-ulang hingga membuatku merintih dan menggelinjang keenakan.
“Mbak, enak banget… aku tak kuat!” teriakku tertahan. Segera kugapai gundukan payudaranya dan kuremas-remas dengan penuh nafsu.
“Gimana empot ayamku, Riz?” kata mbak Lasmi sambil tersenyum.
“Enak banget, mbak, lagi dong!” pintaku sambil memilin-milin putingnya.
Mbak Lasmi langsung mengeluarkan jurus empotannya yang bikin kontolku panas dingin tak karuan. Aku nikmati sambil merem melek dan memenceti terus tonjolan buah dadanya berulang-ulang.
“Riz, kamu kuat juga, biasanya mas Slamet kalau aku ginikan langsung nyembur.” puji mbak Lasmi.
“Darah muda, mbak.” sahutku.
“Riz, ayo goyang. Mbak udah mau nyampai, kita barengan lagi.” ajak mbak Lasmi.
Tanpa diminta lagi, aku mainkan memek mbak Lasmi. Kubalik tubuh sintalnya hingga ia sekarang berada di bawah, lalu aku hajar memeknya bertubi-tubi. Mbak Lasmi mengimbangi dengan memutar pinggulnya berlawanan arah dengan genjotan tubuhku. Kami terus melakukannya hingga akhirnya ada sesuatu yang mau mendesak keluar dari dalam batang kontolku.
“Mbak, aku mau nyampe. Siram dong kontolku!” kataku sambil balik lagi telentang, mbak Lasmi kembali berada di atas tubuhku. Dia tanpa kompromi langsung menggoyang, dan aku mengikutinya. Hingga akhirnya…
“Riz, mbak mau keluar!” teriak mbak Lasmi.
“Aku juga… barengan, mbak!” kataku menyahut. Kuikuti goyangan mbak Lasmi sambil menyodok memeknya semakin dalam saat sesuatu yang basah dan hangat menyembur keluar, mengguyur kontolku hingga terasa semakin licin dan lengket.
“Aku keluar, Riz!” teriak mbak Lasmi tertahan. Tubuh sintalnya terkejang-kejang seiring semprotan cairan dari dalam liang vaginanya.
Aku yang juga sudah di ujung orgasme, langsung membalik dan mengenjotnya tanpa ampun, dan baru berhenti saat spermaku yang kental menyembur untuk yang kedua kali di dalam memek mbak Lasmi.
Kami kembali roboh berpelukan. Karena kecapekan dan kepuasan, aku tertidur di atas tubuh montok mbak Lasmi dengan kontol tetap menancap di lubang memeknya. Setengah jam kami tidak sadar. Kami terbangun bersamaan saat merasakan kontolku menciut dan akhirnya lepas dengan sendirinya. Aku terlentang seperti tidak ada tenaga.
“Riz, mau lagi?“ tawar mbak Lasmi sambil tersenyum.
“Siap, mbak, sampai pagi pun siap!” kataku mantap.
“Uh, maunya! Sana kamu pulang, sudah jam satu. Nanti malah ketahuan ronda kampung, malah repot.” suruh mbak Lasmi sambil mengecup pipiku.
“Sekali lagi, mbak, please…” pintaku memelas.
“Besok aja mbak kasih lagi, sekarang pulanglah!” kata mbak Lasmi sambil berdiri dan keluar dari kamar.
Akhirnya aku nurut. Terlihat mbak Lasmi memunguti baju dan celanaku dan menyuruhku untuk memakainya, sementara dia masih tetap telanjang. Aku pakai bajuku dan duduk sambil istirahat melihat mbak Lasmi yang masih telanjang mengambilkan minum untukku.
“Ini, minum dulu biar kuat sampai rumah.” perintahnya sambil duduk di sebelahku, tetap telanjang.
“Rumahku kan di sebelah, mbak. Pacarku mbak Lasmi.” kataku bercanda.
“Riz, mbak minta ini jadi rahasia kita berdua.” kata mbak Lasmi.
“Iya, mbak…” sahutku.
“Kamu bisa minta kapan pun, asalkan pas suamiku tidak ada.” kata mbak Lasmi lagi. “Kamu boleh nikmati tubuhku, bibirku, tetekku dan memekku, semuanya untukmu… tapi ingat, jangan mencintai aku. Hatiku hanya untuk mas Slamet!” sambungnya penuh nasehat.
“Berarti ini hanya untuk nafsu saja, mbak?” tanyaku.
“Ya, begitulah. Kita sama-sama puas. Kamu bisa belajar dariku, tapi jangan sampai hal ini membuatmu gagal kuliah, mbak akan sangat kecewa.” kata mbak Lasmi.
“Ok, guruku yang binal dan bahenol.” jawabku bergurau.
“Sekarang pulang sana, brondongku. Besok tak kasih lagi jepitanku,” suruh mbak Lasmi.
“Pulang dulu ya, tante girang. Besok kusobek-sobek memekmu.” kataku sambil berdiri. Dengan berat hati, aku pergi meninggalkan mbak Lasmi. Aku masuk rumah lewat jendela dan langsung menuju kamar. Aku berusaha tidur sambil menyesali ketidak-perjakaanku. Tapi memang benar-benar enak memek tembem mbak Lasmi.
Cerpen Remaja Dewasa - Suaminya Bernama Slamet, Tapi Istrinya tidak slamet 2
4/
5
Oleh
Star X Women